Seperti halnya penyakit flu yang rentan sekali penularannya, para artis tidak bisa menghindar dari “virus pemilu”. Beberapa pekan lalu muncul silang pendapat calon kepala daerah atau calon legislatif jika dari kalangan artis. Kontroversi mengacu pada kesangsian satu pihak atas kemampuan artis untuk memegang jabatan tersebut. Maklum, selama ini imej artis di Indonesia lebih dekat dengan kesan kesempurnaan fisik, baru selanjutnya kesan intelektual. Apalagi artis dadakan bukan menjadi fenomena baru. Rupanya virus di kalangan artis juga berevolusi mengikuti “virus capres”! Artinya bukan hanya elit politik atau politisi senior yang turut berpartisipasi menjadi calon presiden, melainkan artis juga. Meskipun tidak membentuk partai, serempak mereka memberi dukungan kepada satu wakil untuk menjadi calon presiden Indonesia.
Tidak semua artis hanya cantik atau tampan. Beberapa bahkan rela melepas popularitas dengan absen tampil di depan layar kaca untuk lebih fokus mempelajari buku-buku pemerintahan. Popularitas itu menjadi satu kelebihan untuk menyosialisasikan program pemerintah/partai/personal kepada masyarakat. Akhirnya, menjadi satu kelebihan bagi artis untuk memobilisasi massa dibanding politisi lain. Pun sebenarnya tidak ada hukum yang melarang artis untuk berpolitik.
Semua warga mempunyai hak secara adil di mata hukum. Tapi adil belum tentu sama. Kemampuan intelektual atas pengetahuan politik dan pemerintahan menjadi tolok ukur untuk berkompetisi dalam politik. Meskipun berstatus artis senior dengan pengalaman sebagai produser atau sederet penghargaan, politik jauh dari sekedar drama. Dalam drama dan sinetron, ada alur cerita dan skenario yang bisa dimusyawarahkan. Ada proses editing untuk penyempurnaan. Ada episode yang diatur untuk memanjangkan masa tayang. Tapi politik? Pemerintahan? Negara?
Tidak ada skenario yang bisa dipersiapkan. Tidak diketahui draft konflik, separatisme, dan bencana nasional yang bisa dibersihkan dari masa jabatan. Pun sekedar mengetahui skenario lawan politik. Belum ada yang bisa menggambarkan. Semua berjalan sangat cepat, unpredictable, dan profesional. Hanya menghitung hari bagi seorang artis jika menjadikan popularitas sebagai bekal satu-satunya menjadi capres. Lihat saja seberapa lama dia tahan dipojokkan dalam sebuah rapat panas antar politisi. Tidak akan ada kawan apalagi seribu pendukung saat ia harus berbicara mempertanggungjawabkan jabatannya. Sekali lagi, kemampuan intelektual, pengalaman, dan profesionalisme adalah tolok ukur kemampuannya. Dan sebagai indikator tentu melalui “jam terbang” berpolitik untuk menghasilkan prestasi sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, artis harus menjawab terlebih dahulu seberapa banyak dia sudah berbuat untuk masyarakat, bukan seberapa banyak sinetron yang dibintanginya,
Jika menjelang pemilu banyak politisi lebih tenar dengan sering muncul di televisi, itu persoalan lain. Dalam hal ini, artis lebih berjiwa besar karena tidak mempermasalahkan politisi menjadi artis dadakan. Artis tidak ambil pusing dengan kemampuan politikus dalam menghadapi sorotan kamera. Itu memang perkara lain! Yang jelas, apapun profesi sebelumnya, untuk bertahan dan mempertahankan karir memerlukan gelar “ahli” secara materi dan praktek di bidangnya.
0 komentar:
Posting Komentar