Beruntung saya berkesempatan melihat langsung perayaan Implementation of the Republic Portugal ke-100. Meskipun berbeda dengan Hari Kemerdekaan Portugal tiap 1 Desember, namun masyarakat tetap memelihara makna revolusi penggulingan system pemerintahan monarki menjadi republik tiap tanggal 5 Oktober. Sejarah Portugal memang menarik dengan lika-liku seputar perang, kemerdekaan, pengakuan, hingga penjajahan. Saya tidak tahu apakah sejarah hubungan dengan Indonesia termasuk didalamnya.

Hingga pukul 10.00 pagi, tidak tampak tanda-tanda spesial di hari tersebut. Berulang kali saya mengecek di internet dan kalender untuk memastikan kepastian brosur yang telah ada di tangan sejak tiga hari sebelumnya. Saya membaca lagi sejarah kerajaan Portugal yang pernah tidak diakui, hingga menjadi daerah kekuasaan Spanyol. Pada tanggal tersebut tahun 1143, Raja Alvonso VII mengakui keberadaan kerajaan Portugal. Pada tanggal yang sama, seabad lalu, bentuk negara Portugal berubah menjadi republik dalam sebuah revolusi besar tahun 1910.

Akhirnya, pukul 11.00 saya berjalan ke City Center di pusat kota berpenduduk terpadat ke-3 di Portugal, Kota Braga. Sejak seminggu lalu, di City Center memang telah didirikan stan-stan tradisional dalam rangka memeringati tanggal yang menjadi titik balik bentuk pemerintahan negara sang Legendaris Sepak Bola Christiano Ronaldo. Warga mengenakan pakaian tradisional sambil menjual sayur-mayur, sembako, mainan tradisional, berbagai kerajinan tradisional, hingga memajang mobil pemadam kebakaran kuno di tengah pusat kota tersebut.

Suasana masih sepi, bahkan di pagi-pagi biasanya lebih banyak orang di tempat tersebut. Sekitar satu jam kemudian, mulai banyak stand yang buka. Menyusul barisan marchingband datang dengan dentuman national anthem. Dibelakangnya, beberapa anggota pramuka mulai memadati dan menyebar untuk membagikan kupon sumbangan kemanusiaan. Sekitar setengah jam mereka unjuk kebolehan. Kemudian ketika mereka beristirahat, iseng saya mengajak salah satu anggota bercakap-cakap. Ternyata, acara puncak akan dimulai pukul 14.30 hingga 17.00. Untuk Portugal, yang selisih 7 jam lebih lambat, tentu waktu tersebut masih belum terlalu sore.

Carla Sousa, anggota marchingband yang ternyata sekampus dengan saya di Universidade do Minho, menjelaskan pada acara puncak ia bersama teman-temannya akan mengadakan konser kecil di panggung yang terletak di satu sudut tempat tersebut. Banda Musical de Cabreiros, nama marchingband tersebut, layaknya marchingband resmi daerah, yang keanggotaannya terbuka bagi seluruh warga. Sembari menunggu waktu, Banda Musical de Cabreiros akan berkeliling di jalan protokol kota Braga sambil memainkan lagu-lagu kebangsaan dan lagu-lagu popular. Tidak lupa sebelum berpisah, Carla meminta saya memotret marchingband-nya ketika konser nanti. Geli sekali rasanya mengetahui, foto itu akhirnya dipasang Carla Sousa untuk foto profil facebook-nya belakangan ini.

Sembari menunggu acara puncak, saya menghampiri satu kerumunan lain. Ternyata ada pertunjukkan tari tradisional dari Group Folclórico Dr. Gonçalo Sampaio. Bukan hanya remaja, tapi anggotanya mulai dari anak 10 tahun hingga kakek dan nenek-nenek. Tiba-tiba, di satu sesi, mereka menarik para penonton untuk menari bersama. Sebenarnya ingin sekali saya bergabung. Tapi sayang, akhirnya teman saya yang ditawari untuk menari.

Satu sudut yang lain, ada drama yang menunjukkan kehidupan bangsa Portugis jaman dahulu di kota tersebut. Di masa lampau, daerah yang dikenal religius itu identik dengan kehidupan agrarisnya. Maka jangan heran jika dibanding daerah lain, Braga menawarkan sembako dengan harga paling murah hingga kini. Drama yang seluruhnya dimainkan warga berusia 30 tahun ke atas tersebut mendapat antusiasme meriah dengan berkali-kali tepuk tangan pengunjung.

Selain berbagai pertunjukan seni, ada juga berbagai permainan tradisional yang saya ingat pernah saya mainkan juga ketika kecil di Indonesia. Misalnya lempar gelang, lempar batu, atau mendorong roda dari besi dengan tongkat. Selain itu, saya sangat terkesan dengan toko mainan tradisional yang menjual banyak alat permaianan tradisional Indonesia. Jangan-jangan ini salah satu bentuk akulturasi budaya dari masa lalu hubungan Portugal-Indonesia.

Agak sulit ternyata membedakan acara puncak dan pembuka, lantaran pertunjukkan silih berganti dimainkan di tempat tersebut. Sebagai penanda, tepat 14.30 Banda Musical de Cabreiros memainkan lagu-lagu kebangsaan di satu-satunya panggung di City Center. Diselingi dengan berbagai teatrikal, puisi, dan tari-tarian, semua warga terlihat menikmati dan sangat apresiatif. Bahkan ketika sekawanan remaja berpakaian ala bangsawan berdeklamasi menceritakan sejarah Portugal, walaupun ada seorang yang tidak begitu lancar, warga tetap memberikan tepuk tangan menyemangati.

Hasil perbincangan dan pengamatan saya, tidak ada seorang pun yang tidak bangga berpartisipasi di selebrasi tersebut. Pengisi atau penonton, semua membaur dengan tertib dan menghargai. Ketika seorang disable dengan kursi roda-nya berada di tengah-tengah kerumunan, mereka minggir dan mempersilahkan orang tersebut di tempat terdepan.

Akhirnya, sekitar 17.20 saya beranjak pulang bersama beberapa warga. Aneh, biasanya acara seperti itu di Indonesia dipadati para remaja. Tapi tidak di Portugal. Hampir 75% pengunjung adalah “mbah-mbah” yang dengan semangat memainkan segala permainan tradisional, menari bersama, bertepuk tangan riuh, atau bercerita panjang lebar tentang sejarah. Seorang kawan warga asli daerah tersebut, André Marcos, mengatakan, “Our parents and grandparents are more excited with this celebration because they have greater contact with politics and have experienced with different types of government,” terang siswa Escola Secundária Carlos Amarante '11 tersebut.

Masih menurut André, sebagai generasi muda, ia menyadari pentingnya perayaan seperti ini sebagai hal yang bisa mengingatkan rasa kesatuan dan sejarah. Selain itu remaja yang juga tergabung dalam grup tari tradisional ini sadar, anak muda di Portugal sedikit lalai bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sejarah. “Hari ini anak muda seperti melarikan diri dari sejarah karena merasa tidak ada yang dipelajari dan berhubungan dengan masa lalu. Padahal, selalu ada hal berharga dari sejarah, sekaligus kita tidak bisa mengingkari sejarah itu sendiri,” terang cowok yang ingin menjadi guru sejarah ini.

Sedikit menyinggung tentang persahabatan masa lalu bangsa Portugal dengan Indonesia, sambil tergelak André menjawab, “Unfortunately, Indonesia and Portugal have lost the relationship that bound them together. Mungkin karena Portugal beralih ke penemuan dan kepemilikan di wilayah pantai Afrika,” terangnya sambil tersenyum.

Tanggal tersebut bukan hanya peringatan. Namun, makna pemersatu-lah yang membuatnya tetap eksis dan menyemangati nasionalisme warga. Memori masa lalu bahwa mereka pernah berjuang bersama untuk merdeka, menjadi kekuatan agar tetap memelihara simbol-simbol tersebut. Sayang, semangat lansia yang ada di tempat tersebut tidak diimbangi dengan para remaja. Lebih sayang lagi, tidak ada seorangpun yang saya ajak berbincang tahu tentang Indonesia. Tapi buat saya, hubungan masa lalu tidak lebih penting dari apa yang akan kita buat saat ini untuk membuat masa depan lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar